Sunday, February 17, 2013

Ustad Kampung Lawan Ustad Kota




Begini hari media informasi telah membuka kebodohan masyarakat, semua kondisi dunia dapat diserap ummat, entah itu baik atau buruk, yang jelas semua disuguhkan oleh media. Karena untuk media apapun tayangannya yang penting untung, peduli amat itu setan atau malaikat, selagi pemasang iklan mau berkontribusi untuk mensuport acara tersebut, ya tayang ..... Demikian halnya dakwah dalam bahasa "kekinian dan kedisinian" asal mampu meramu kata, mengocok- ngocok perut pemirsa, menjual airmata atau berpenampilan sedikit nyentrik dan flamboyan, dijamin laris, karena memang ummat butuh penyegaran bahasa, ummat tak butuh lagi kyia, ustadz, ulama yang kerjaannya nakut-nakutin dengan neraka, ngancam-ngancam dengan dosa atau menghibur-hibur dengan pahala, kuno, jadool, konvensional, ortodoks, kampungan dan seabrek simbol kejumudan dan ketakmajuan gaya hidup. Kyai kalau ingin menjadi 'TOP' harus memilik 'khowariqul adat' harus mampu menyelisih kebiasan yang ada, menganeh-anehkan diri, bahkan bisa tampil layaknya perempuan atau setengah laki-laki, itu yang disenangi ummat, hebatnya ummat berani bayar mahal loh!!?? Tak perlu bisa membaca qur'an dengan baik dan benar apalagi hafal, bahasa Arab? Ah itu untuk orang sono.Menjumput potongan hadits, mau sahih mau dhoif bahkan bukan hadits juga nggak ngaruh, ummat juga nggak bakalan protes, percaya deh!! Yang protes itu orang yang cemburu karena dianggap gak laku, yang protes itu nggak faham fiqih dakwah, yang protes "kasian deh loh!" .. Jika masih tersisa sekelumit orang suci yang mengedepankan kebenaran, berani tampil miskin, melayani ummat, mengajarkan anak kecil abjadiah Arab, sarungan, itu tempatnya di desa, di desa kalaupun menengah ke kota, itu namanya MARBOT MASJID. Meski tak dibayar bulanan apalagi harian, tanpa jam tayang, manajer, paniti penyambutan, kamar hotel dan makan mewah mereka tetap berdakwah, mengajar.usahkan mobil mewah atau sepeda mesin, bisa menyambangi mejelis, madrasah dan tempat ngajarnya dengan jalan kaki saja, sudah syukur sekali sama gusti Allah, kasian anak-anak yang mau ngaji. "Demikian mereka berujar. Walau terkadang perutnya berkukuruyuk saat membunyikan makhorijul huruf, laju itu tak lekang oleh panas dan tak melapuk dibasahi hujan. Jangan ditanya anggapan masyarakat kepada mereka "syukur kami mau menitipkan anak, kalau nggak, mana bisa dia punya murid?". masalah honor yang Cuma 5000 perbulan saja kadangan terdengar celoteh masyarakat "ustadz kok ngarepin dunia! Yang ikhlas donk! "Kan tinggal di masjid gratis!" Dan itu bukan sekali dua, bahkan bertahun mengalami situasi 'diskreditasi' oleh sebagian besar usernya. Sering airmata itu mengering, karena memang itu bukan apresiasi ketakridhoan mereka terhadap perlakuan Tuhan, tetapi mereka pedih karena melihat kepicikan ummat yang berkata - sarjana, terpelajar, orang kaya - atau entah pantasnya disebut apa. Itulah 'KEANEHAN' dari sekian banyak kejadian, bisakah masyarakat kita disebut semakin cerdas karena ustdaz media yang memiliki karomah dunia itu? atau karena memang ustadz kampungnya yang memang terlalu sederhana dan suka menyederhanakan kehidupan? Entah .........

No comments:

Post a Comment