Mengenal
Nama Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar
(829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil
pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis
orang), Syekh ‘Abdul Jalilnama yg diperoleh di Malaka,
setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana. Syekh Jabaranta nama yg dikenal
di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka, Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata),
adalah nama yg muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg
diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya);
Syekh Lemah
Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu
komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni
kerajaan). Wajar jika orang Cirebon tidak
mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh
Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama
filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran), bahwa manusia secara biologis hanya
diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama
yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali,
pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati
atau Pangeran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z.
Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung
(nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra
Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh
Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing
Lemah Abang.
Siti Jenar lebih
menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu
kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia,
secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah
(tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak
kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah
kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa
sebagai bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).Dan karena
surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan
neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah
penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi
orang yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu
wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn
Tuhansering terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti
makna nama Syekh Siti Jenar.
Padepokan Giri Amparan Jati
*Padepokan Giri Amparan Jati
Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar
tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk
Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg
berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh
halus] <Purwaka Caruban Nagari, 75-76, cat. 39; Sejarah Nasional Indonesia,
vol. II;221>
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai
pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah
hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg
akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya
Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status
sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15
tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar
pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya,
ia bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya. Tujuan pertmanya adalah Pajajaran
yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti
Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti
dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama. Pertama,
nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai
manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan
dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi,
“bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan,
Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu
dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu
keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi
al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak
mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan
pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati,
sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi.
Pada masa tuanya, Aria Damar
bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar
berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini,
San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg
dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian
dikenal sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali
melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku
Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki
dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia
bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu
manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimangharta. Selain
menjadi saudagar, Syekh Siti jenar jugamenyiarkan agama Islam yg oleh
masyarakat setempat diberigelar Syekh jabaranta.
Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa,
putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini,
Syekh Datuk Ahmad, San Ali
dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Dari perenungannya mengenai dunia
nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan
tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik
(pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah ;
1. lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia);
2. jurangfutur (nafsu menelan makhluk/orang lain);
3. gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan
rohani);
4. gurun riya’ (bangga rohani);
5. rimba sum’ah (pamer rohani);
6. samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombonganragawi);
7. benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).
Pencerahan Di Baghdad
*Pencerahan Rohani di Baghdad
Setelah mengetahui bahwa dirinya
merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh
Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah
terutama pusat kota suci Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari
pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al- Mubasyarah
al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu
perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni
kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta
ini, baik yg terlihat maupun yg
tidak terlihat pada hakikatnya
adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung
bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg
dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar
menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan
Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai
tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan
quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam
lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan
memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang
Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia
menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya
diasah tajam. Sebab di keluarga al- Tawalud tersedia banyak kitab-kitab
ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al- Tawalud,
Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi.
Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan
dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt. Syekh
Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya
al-Hallaj (858-922), al- Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj
(w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al- Qusyairi
(w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-
Hikam-nya Ibnu ‘Arabi
(1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan
al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar
sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili,
merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia. Dan
sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan
terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan
ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf,
namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali.
Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena
kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa.
Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar;
Talmisan, Musakhaf (al- Mukasysyaf) dan Balal Mubarak.
Masyarakat yg dibangunnya nanti
dikenal sebagai komunitas Lemah Abang. Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca
dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat
al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri
wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan
terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh
‘Abdul Karim al-Jili. Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya
ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai
titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal
dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik
al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki
ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara
filosofis mirip dgn al- Jili dan Ibnu ‘Arabi. Syekh Siti Jenar menilai bahwa
ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami
namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman
rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti,
sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam
berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak
memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak
meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar
diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan
musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana
mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada
masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya
‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual
dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman
roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan
menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya
rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid
(terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya tercerahkan).
Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya.
Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukanpengalaman sufi dari
kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi danal-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan
dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan
menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha
illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku,
tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan
orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha
illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah
dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafa Nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut.
Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah “al-Insan
sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti
Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/ 1165-638-1240),
Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg
baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di
dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik
dan menemui akhir hayat secara biasa.
Kemanunggalan Ingsun,
Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar)
1.“Sabda sukma, adhep idhep
Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” Pernyataan
Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh yg
bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi
segala sesuatu.” Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar
yg maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan
dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia
cermin yg disebut mir’ah al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah
bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul,
yg menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah
terbuka maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian
dirinya beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia
yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti
memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya,
menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
2. “Hidup itu bersifat baru dan
dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg
jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur
lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai
pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal
dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi
gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yg
siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat
pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam
lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian
jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” Menurut Syekh Siti Jenar, baik
pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman
hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa
dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha
Melindungi.
Pancaindera adalah pintu nafsu
dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang
Wajib memimpin. Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi
pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi
atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan
jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang
Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga
nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan
nama-NYA.
3.“Apakah tidak tahu bahwa
penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara
Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati
juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika
penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa Pulang dagingnya,
saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia
ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru
hilamuhdil yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam
semesta sesudah dia membuat dunia.” Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar
memandang alam makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal
tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami
kerusakan atau tidak kekal. Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb
mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka
ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam
jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam semesta.
Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka
mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat
besar termasuk semesta. Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya
ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah
bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti
daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah
barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian
di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yg menjadi
tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
4. “Segala sesuatu yg terjadi di
alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal
yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi
keliru dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk
dari selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri.
Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi perpaduan dua
kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan
kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil "Wa Allahu khalaqakum wa ma
ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)", yg maknanya Allah yg menciptakan engkau dan
segala apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg
terlahir dari itu disebut al- tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar
dari tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di
situ berlaku dalil "Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama
(Qs.Al-Anfal:17)", maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah
jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah
dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la
haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda
“La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi", yg maksudnya tidak akan
bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.”
Eksistensi manusia yg manunggal
ini akan nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-Esa
an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan
oleh dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, kemana
af’al itu dipancarkan.
5. “Di dunia ini kita merupakan
mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah. Ketahuilah
juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn seorang manusia biasa
seperti yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan
malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini
nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah
hidup lagi, Gusti dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri,
ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku
maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian.
Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal
yg menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat
pancaindera. Itu hanya impian yg sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar
lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak merasa
tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan,
ialah kembali kepada kehidupan.” Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa
dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta
menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara
keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga
ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar.
Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati,
baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan
ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena
ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah
alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat
yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun
Sejati. Semoga yg ini bermanfaat dalam kepasrahan yg tidak bisa dipikir dgn Akal
tapi dengan Hati yang sulit mengungkapkan rasa Cinta itu secara Tulus.... Walaupun
rasa Cinta itu sulit diungkapkan dgn bahasa kita yg sangat terbatas
ini.....amin....amin.
Surga & Neraka
SURGA DAN NERAKA Syekh Siti
Jenar
“anal jannatu wa
nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar dalam menjelaskan
hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah “inna al- janatu
wa al-naru qath’un ‘an al-ana” (Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu
telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini). Sesungguhnya, menurut
ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal
surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib
rusak dan binasa. Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu
untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga neraka adalah
perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal
dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa
ketika mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung,
hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup).
Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia. Jadi, karena surga dan neraka
itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga
bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk
akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna
hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya
Allah, yang tidak lain adalah proses kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihi
al-mashir…
Puasa & Haji
PUASA dan HAJI Syekh Siti
Jenar
“Syahadat, shalat dan puasa itu,
sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke
Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi,
penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena
diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang
yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. “Tiada pernah saya menuruti
perintah budi, bersujud- sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja,
bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak
masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka,
menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena
itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”
Syekh Siti jenar menyebutkan
bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”,atau “wes
palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentuistilah ini sangat amat berbeda
dengan anggapan orangselama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenarmenolak
syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti
Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan
atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku
palsu kabeh” atau “itu palsu semua.” Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar
adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan
dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas
belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi
mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb. Bagi
Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa
penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada
unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak
dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan
keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup
manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan
(seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami
makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan
aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna
dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia. Nah, yg dikritik Syekh Siti
Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat
haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk
ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya
secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat
sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu
berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa- cipta
itulah shalat yg sesungguhnya.
Makna Ihsan
Makna Ihsan
“Itulah yang
dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas
kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat
yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam
pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui
ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan
menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat
Muhammad yg kudus.” “Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg
berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas
kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah,
maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di
dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi
dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di
atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa
sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam
salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi
si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud.
Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat,
istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran. Sebab
Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani,
bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan
Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat
pribadi. Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh
menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung”
ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal. “Hyang
Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya
mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan
keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus,
menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu
yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Ihsan berasal
dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin
seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang
ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah
atau Sang Pribadi. oleh karena itu, sesama
manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan
kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban
manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke- Ilahian
manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari
ketidaktahuan manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan
bahwa “Sesungguhnya mereka tidak mengerti”). Karena buta terhadap Allah Yang
Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas
kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar.
Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh
Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke
dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan
mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam. Pribadi adalah pancara roh,
sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses
wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka
manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia
yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan
dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan
ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA
Allah melalui kehadiran manusia. Sehingga proses terjadinya keselamatan dan
kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena
hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa
sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi. Maka dapat diketahui bahwa
teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya
sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan
manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak
akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan
sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia
sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga
pasti tidak akan terjadi.